Tradisi Mappacci Bugis Makassar
Mappacci adalah kata kerja dari ‘mapaccing’ yang berarti bersih. Terkadang, di beberapa daerah Bugis, mappacci dikenal dengan sebutan mappepaccing. Dalam bahasa Bugis, mappacci/mappepaccing merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu. Mappepaccing bola sibawa lewureng, yang berarti membersihkan rumah dan tempat tidur. Adapun kata perintahnya ‘paccingi’ yang berarti bersifat menyuruh atau memerintahkan untuk membersihkan. Paccingi kasoro’mu berarti bersihkan kasurmu. Kebanyakan kata kerja dalam bahasa bugis diawali dengan kata ‘Ma’, seperti; maggolo (main bola), mattinju (bertinju), mallaga (berkelahi), mammusu’ (bertempur), makkiana’ (melahirkan), dsb. Kata mapaccing dan mappacci merupakan dua kata yang kalau dilihat sekilas agaknya sama, namun memiliki arti yang berbeda. Yang pertama merupakan kata sifat dan yang kedua kata kerja. Kita sering mendengarkan penggunaan kata ini dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di masyakat Bugis.
Perkembangan selanjutnya, istilah mappaccing lebih sering dikaitkan dengan salah satu rangkain kegiatan dalam proses perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Mappaccing lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh mempelai perempuan, terkadang sehari, sebelum pesta walimah pernikahan. Biasanya, acara mappaccing dihadiri oleh segenap keluarga untuk meramaikan prosesi yang sudah menjadi turun temurun ini. Dalam prosesi mappaccing, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala peralatan yang harus dipenuhi, seperti; Pacci (biasanya berasal dari tanah arab, namun ada pula yang berasal dari dalam negeri), daun kelapa, daun pisang, bantal, sarung sutera, lilin, dll. Tujuan dari mappacci adalah untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Tidak diketahui dengan pasti, sejarah awal kapan kegiatan mappacci ditetapkan sebagai kewajiban adat (suku Bugis/Makassar) sebelum pesta perkawinan. Tapi, menurut kabar yang berkembang dikalangan generasi tua, prosesi mappacci telah mereka warisi secara turun-menurun dari nenek moyang kita, bahkan sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Bugis-Makassar. Oleh karena itu, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging dan sepertinya sulit terpisahkan dari ritual perkawinan Bugis-Makassar. Mappacci menjadi salah satu syarat dan unsur pelengkap dalam pesta perkawinan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Namun, ketika Islam datang, prosesi ini mengalami sinkretisme atau berbaur dengan budaya Islam. Bahkan Islam sebagai agama mayoritas suku Bugis-Makassar telah mengamini prosesi ini, melalui alim ulama yang biasa digelar Anregurutta.
Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah
kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.
Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari
ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia’ akkatta madécéng
mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé.
Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah
sebagai berikut: Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa
(penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru
bicara keluarga:
a. Patarakkai mai bélo tudangen
b. Naripatudang siapi siata
c. Taué silélé uttu patudangeng
d. Padattudang mappacci siléo-leo
e. Riwenni tudang mpenni kuaritu
f. Paccingi sia datu bélo tudangeng
g. Ripatajang mai bottinngngé
h. Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng
Ungkapan ini berarti:
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan.
Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain.
Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu
mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan
yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan
yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
1) Pelaksanaan
Orang-orang yang
diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang
yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah
tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di
kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas
tangannya.
Jumlah orang yang
meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan
stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan
tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk
golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan
untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang.
Cara memberi pacci
kepada calon mempelai adalah sebagai berikut:
a) Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk
bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon
mempelai.
b) Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri,
lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan
bahagia.
c) Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan
rokok sebagai penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat
lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang
yang memakan sirih maka diganti dengan rokok.
d) Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon
memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan
wenno yang disertai dengan doa.
e) Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji
sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah
Muhammad SAW atas nikmat Islam.
f) Setelah semua selesai meletakkan pacci ke
telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue
tradisional yang diletakkan dalam bosara.
2) Makna
Alat yang Digunakan
Upacara mappacci menggunakan 6 (enam) macam
alat perlengkapan yang terdiri dari; bantal,
sarung 4 lembar, daun pisang, daun nangka, daun pacci,
dan suluh atau lilin. Keenam alat perlengkapan
tersebut masing-masing mengandung makna filosofi, yakni:
a) Bantal adalah simbol sipakatau atau saling
menghargai, itu tergambar dari fungsinya sebagai pengalas kepala saat tidur.
Kepala merupakan bagian tubuh yang paling mulia dan dihargai. Begitu pula,
sosok manusia baru dapat dikenal bilamana dilihat wajahnya, dan wajah adalah
bagian dari kepala.
b) Sarung merupakan simbol mabbulo sipeppa
atau persatuan, itu tergambar jalinan dan kumpulan lembaran benang yang
disatukan kemudian diolah dan ditenun. Sarung sebagai simbol persatuan dan
penutup aurat. Penggunaan empat lembar sarung yang disusun dalam suatu
lingkaran mengandung makna kesiapan calon mempelai memasuki kehidupan berumah
tangga dengan terlebih dahulu membersihkan 4 hal, yaitu mapaccing ati artinya
bersih hati, mapaccing nawa-nawa artinya bersih fikiran, mapaccing
pangkaukeng artinya bersih/baik tingkah laku, dan mapaccing ateka
artinya bersih tekad.
c) Daun pisang. Pisang adalah simbol serbaguna karena
seluruh bagian dari pohon pisang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pisang
merupakan tanaman produktif karena sekali kita menanam pisang, akan tumbuh dan
berkembang, patah tumbuh hilang berganti. Sama halnya dengan manusia hidup dan
berkembang dari generasi ke generasi melalui perkawinan.
d) Daun nangka. Nangka adalah simbol cita-cita, dalam bahasa
Bugis disebut ‘panasa’ yang mengandung makna mamminasa, yang
memiliki arti tekad dan cita-cita.
e) Daun pacci/pacar adalah simbol kebersihan atau kesucian
karena daun pacci itu digunakan sebagai pemerah kuku atau penghias kuku, belo-belo
kanuku. Sebagaimana yang tercantum dalam pantun Bugis tadi yang berbunyi “DUA
MI UWALA SAPPO, BELO NA KANUKUE, UNGANNA PANASAE”. Terjemahan bebasnya :
hanya dua kujadikan perisaiku yaitu pacci (kesucian) dan lempu’(kejujuran).
Peribahasa ini berlaku bukan hanya dalam hal pernikahan, tetapi hadir dalam
setiap dimensi kehidupan masyarakat Bugis.
f) Lilin adalah simbol penerangan dan pengabdian;
digunakan sewaktu gelap sebagai penerang dan sebagai simbol pengabdian terhadap
keluarga, masyarakat, agama, bangsa, dan negara.
Sekalipun Mappacci bukan merupakan suatu kewajiban agama dalam Islam, tapi mayoritas ulama di daerah Bugis-Makassar menganggapnya sebagai sennu-sennungeng ri decengnge (kecintaan akan kebaikan). Yang terjadi kemudian, pemuka agama berusaha untuk mencari legalitas atau dalil mappacci dalam kitab suci untuk memperkuat atau mengokohkan budaya ini. Sebagai contoh, salah satu ulama Islam tersohor di Bone, Alm. AGH. Daud Ismail, berusaha menafsirkan dan memaknai prosesi mappacci beserta alat-alat yang sering digunakan dalam prosesi ini. Sebelum prosesi Mappacci, biasanya calon pengantin perempuan dihias dengan pakaian pengantin khas Bugis-Makassar. Selanjutnya, calon pengantin diarak duduk di atas kursi (namun ada pula yang duduk di lantai) untuk memulai prosesi mappacci. Di depan calon pengantin perempuan, diletakkan sebuah bantal yang sering ditafsirkan dan dianggap sebagai simbol kehormatan. Bantal sering diidentikkan dengan kepala, yang menjadi titik sentral bagi aktivitas manusia. Diharapkan dengan simbol ini, calon pengantin lebih mengenal dan memahami akan identitas dirinya, sebagai mahluk yang mulia dan memiliki kehormatan dari Sang Pencipta (Puangge:Bugis).
Di atas bantal, biasanya diletakkan sarung sutera yang jumlahnya tersusun dengan bilangan ganjil. Sebagian ulama menyamakan susunan sarung sutera ganjil, dengan Hadis Nabi Saw yang yang berbunyi; Allah itu ganjil dan suka yang ganjil. Sarung sendiri ditafsirkan sebagai sifat istikamah atau ketekunan. Sifat istikamah sendiri, telah dipraktikkan oleh sang pembuat sarung sutera. Tiap hari, mereka harus menenun dan menyusun sehelai demi sehelai benang, hingga menjadi sebuah sarung yang siap pakai. Dengan sikap istikamah atau ketekunan ini, diharapkan calon pengantin dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sang pembuat sarung sutera untuk diamalkan dalam kehidupan rumah tangga. Terkadang juga, sarung dianggap sebagai simbol penutup aurat bagi masyarakat Bugis-Makassar. Jadi, diharapkan agar calon mempelai perempuan senantiasa menjaga harkat dan martabatnya, tidak menimbulkan rasa malu (siri’) di tengah-tengah masyarakat kelak.
Terkadang, diatas sarung sutera diletakkan daun pisang. Daun pisang memang tidak memilik nilai jual yang tinggi, tapi memiliki makna yang mendalam bagi manusia pada umumnya. Salah satu sifat dari pisang adalah tidak akan mati atau layu sebelum muncul tunas yang baru. Hal ini selaras dengan tujuan utama pernikahan, yaitu; melahirkan atau mengembangkan keturunan. Karakter lain dari pisang, yaitu; satu pohon pisang, dimungkinkan untuk dinikmati oleh banyak orang. Dengan perkawinan, diharapkan calon pengantin berguna dan membawa mampaat bagi orang banyak.
Diatas daun pisang, terkadang diletakkan daun nangka. Daun nangka tentu tidak memiliki nilai jual, tapi menyimpan makna yang mendalam. Anregurutta di Bone pernah berkata dalam bahasa Bugis; Dua mitu mamala ri yala sappo ri lalenna atuwongnge, iyanaritu; unganna panasae (lempuu) sibawa belona kalukue (paccing). Maksudnya, dalam mengarungi kehidupan dunia, ada dua sifat yang harus kita pegang, yaitu; Kejujuran dan Kebersihan. Jadi, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, calon pengantin senantiasa berpegang pada kejujuran dan kebersihan yang meliputi lahir dan batin. Dua modal utama inilah yang menjadi pegangan penting, bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Diatas daun pisang, terkadang juga diletakkan gula merah dan kelapa muda. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, menikmati kelapa muda, terasa kurang lengkap tanpa adanya gula merah. Sepertinya, kelapa muda sudah identik dengan gula merah untuk mencapai rasa yang nikmat. Seperti itulah kehidupan rumah tangga, diharapkan suami-istri senantiasa bersama, untuk saling melengkapi kekurangan dan menikmati pahit manisnya kehidupan duniawi. Terakhir, mappacci juga dilengkapi dengan lilin sebagai simbol penerang. Konon, zaman dahulu, nenek moyang kita memakai Pesse’(lampu penerang tradisional yang terbuat dari kotoran lebah). Maksud dari lilin, agar suami-istri mampu menjadi penerang bagi masyarakat di masa yang akan datang. Masih banyak lagi peralatan prosesi, yang biasa dipakai oleh masyarakat, sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka. Namun, secara umum peralatan yang telah disebutkan diatas, standar yang sering digunakan dibeberapa daerah Bugis-Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar