Minggu, 29 Januari 2017

maudu lompoa ricikoang takalar




Mau’du Lompoa Cikoang, TakaLar.
Hasil gambar untuk maudu lompoaMaudu’ Lompoa Cikoang, Takalar MAUDU’ Lompoa (maulid besar) adalah prosesi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diisi dengan berbagai kegiatan ritual. Tradisi ini ditujukan untuk menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Karenanya secara temurun tradisi ini dipelihara keluarga Sayyid Al’-Aidid. Kehadiran tradisi Maudu’ Lompoa di Cikoang diawali dari kedatangan Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid. Beliau adalah seorang ulama besar asal Aceh, cucu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, keturunan Arab Hadramaut, Arab Selatan, dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW yang ke-27. Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid tiba di kerajaan Gowa-Makassar pada abad 17, masa pemerintahan Sultan Alauddin. Beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Putra Mahkota kerajaan Gowa oleh Sayyid Djalaluddin diberi nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang beliau bawa. Naskah tersebut merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan, seperti dikutip Abd Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk dalam Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982, merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang. Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid mengajarkan tiga hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-ma’rifah, al-iman dan al-mahabbah. Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian dan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Cikoang mengenal dua proses kelahiran beliau, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam syahadah (dunia). Kejadian di alam ghaib berwujud “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang daripada-Nyalah tercipta alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang, khususnya para Sayyid, percaya bahwa Allah menyinari dan memberi cahaya langit dan bumi (bertajalli) melalui “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai pokok kejadian segala makhluk dan rahmat bagi seluruh Alam. Sedangkan kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini merupakan kelahiran dengan membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegangi. Karenanya sebagai upaya untuk menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar kelahiran Nabi, prosesi peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral. Masyarakat Takalar, khususnya keturunan Sayyid, meyakini sepenuhnya kelahiran Rasulullah SAW merupakan isyarat kemenangan. Dan kemenangan harus diwujudkan dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa kepada hazrat suci Nabi Pendaratan Sayyid Djalaluddin Di Cikoang Dikisahkan, Sayyid Djalaluddin menikah dengan I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin, seorang putri bangsawan kerajaan Gowa. Beliau tidak mendapatkan respon yang layak dari Sombaya di Gowa, karena ketidakjelasan identitas keturunan Sayyid. Beliau pamit pada Sombaya di Gowa dan kemudian menitipkan istrinya di Balla Lompoa, Gowa. Atas izin Allah SWT, Sayyid meninggalkan Balla Lompoa dengan menggunakan sehelai sajadah (tikar sembahyang) sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah tempat air wudhu (cerek) menemaninya. Dalam waktu sekejab, Sayyid sudah sampai di sebelah utara pulau Tanakeke, kemudian sebelah utara Sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan Sungai Maccinibaji. pada saat yang sama, di muara sungai Cikoang, sebelah utara hulu sungai, I Bunrang (kesatria Cikoang) memasang kuala (bila). Lalu, di sebelah selatan hulu sungai, I Danda (kesatria Cikoang) juga memasang kuala. Esoknya, I Danda dan I Bunrang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat do sebelah utara Tompo’tanah. Hanya dalam waktu sekejap, benda tersebut berubah bentuk menjadi benda bercahaya. Melihat itu, kedua kesatria Cikoang itu berlomba mendayung lepa-lepanya (perahu) mendekati benda itu. Saat mendekat, keduanya tercengang melihat seorang manusia memakai jubah, duduk bersila di atas sajadah ditemani cerek. Melihat keajaiban pada orang itu, Sayyid Djalaluddin, I Danda dan I Bunrang lalu menawarkan jasa pada Sayyid. Kedua perahu itu lalu dirapatkan. Sayyid kemudian meletakkan kaki kanannya di atas perahu I Danda dan kaki kirinya di perahu I Bunrang. Kedua satria itu kemudian mendayung perahunya ke pinggiran sungai Cikoang. Mereka lalu mengabdi pada Sayyid. Selanjutnya, I Bunrang diutus untuk menjemput istri Sayyid, I Acara’ Daeng Tammami, di Balla Lompoa, Gowa. Dua bulan setelah Daeng Tamami berada di Cikoang, tepatnya saat tarikh 10 Syafar 1025 H, mulailah dilaksanakan mandi Syafar untuk pertama kalinya sebagai rangkaian peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau dikenal sebagai Maudu’ Lompoa (maulid besar). Kegiatan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal 1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi oleh Sayyid, I Danda, I Bunrang, serta jamaah ajarannya. Peringatan itu berdasarkan tiga faktor keyakinan dan keikhlasan. Ketiga faktor itu, yaitu, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW kejadian di alam Nur, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW keadaan di alam rahim, dan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW kelahiran di alam dunia. Persiapan Maudu’ Lompoa Persiapan-persiapan upacara Maudu’ Lompoa di Cikoang diawali dengan menyediakan ayam, beras, minyak kelapa, telur, julung-julung (perahu), kandawari, bembengan, panggung upacara dan lapangan upacara. Sebulan sebelum 12 Rabiul Awal, sekitar tanggal 10 Shafar, ayam-ayam itu telah disiapkan di dalam kurungan yang dimaksudkan agar ayam-ayam itu tidak lagi makan barang najis. Setiap orang sekurang-kurangnya satu ekor ayam yang sehat. Setelah tiba masa peringatan, ayam-ayam itu disembelih oleh anrongguru (tokoh dari keluarga Sayyid) yang memimpin prosesi upacara tersebut. Beras yang digunakan harus diproses sendiri, yaitu ditumbuk pada lesung yang sudah dibersihkan. Lesung itu harus dipagari dan tidak boleh rapat ke tanah. Orang yang menumbuk itupun tidak boleh menaikkan kakinya di atas lesung. Sedang padi yang ditumbuk harus dijaga baik-baik, tidak boleh sebiji pun jatuh ke tanah. Ampasnya harus dikumpul baik-baik pada tempat yang tidak mudah kena kotoran sampai selesainya dibaca Surat Rate’ (Kitab Maudu’) Kitab yang menceritakan kelahiran Nabi sampai riwayat datangnya Islam yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin. Menurut Dg Bantang, dalam setiap orang ukurannya harus 4 liter yang bermakna bahwa setiap manusia terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari 4 asal, yaitu tanah, air, angin dan api. Bakul yang digunakan terbuat dari daun lontar yang berukuran minimal untuk 4 liter beras dan 1 ekor ayam untuk satu orang. Ukuran bakul bertingkat-tingkat sesuai banyaknya jumlah keluarga atau pengikut. Karena itu, siapa yang besar bakulnya biasanya itulah yang paling banyak keluarganya dan ramai maulidnya diliahat dari pengaruhnya dan paling banyak ana’ gurunna (muridnya). Minyak kelapa yang digunakan harus diproses sendiri dan dibuat khusus hanya untuk acara tersebut, jadi tidak boleh digunakan selain untuk kebutuhan acara itu. Kecuali bila upacaranya telah selesai. Sabuk dan tempurungnya harus dikumpulkan pada tempat yang tidak ternoda atau dibakar atau ditimbun di tanah agar tidak terkena najis. Telur yang digunakan direbus terlebih dahulu lalu ditusuk pada ujung bambu yang sudah dipecah-belah kecil dan runcing dan ditancapkan di atas bakul. Selain itu, dibuat julung-julung (perahu) dari bambu atau kayu dengan dua buah tiang layar, penuh dengan kain yang berwarna-warni sebagai layar dan bendera (perlambang datangnya ajaran kebenaran dari Nabi yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin). Perahu itu bertiang empat yang agak tinggi sehingga bentuknya mirip dengan panggung. Pada bagian belakang perahu itu biasanya ditempeli uang kertas Rp 5.000,- atau Rp 10.000,- Dalam satu keluarga yang mampu harus membuat satu perahu, sedang keluarga yang kurang mampu biasanya berkelompok beberapa keluarga untuk satu perahu. Sedangkan kandawari, burung merak dan bembengan dibuat berbentuk segi empat dan bertiang empat kemudian ditempatkan di darat saja. Selain itu, dibuat juga sebuah panggung kayu yang dipasangi tenda. Di atas panggung inilah dilaksanakan inti acara Maudu’ Lompoa, yaitu zikkiri’ (berisi syair-syair pujaan kepada Rasulullah saw).
Pelaksanaan Upacara Tahap Awal
1. Ammone baku’ (mengisi bakul) Orang yang berhak mengisi bakul adalah perempuan yang suci dari hadas dan najis (selalu berwudhu), sebagai berikut: – Mengisi bakul dengan nasi setengah masak – Membungkus ayam dengan daun pisang lalu dimasukkan ke dasar bakul – Menutup permukaan bakul dengan daun pisang atau daun kelapa muda – Telur-telur yang sudah ditusuk dengan bambu yang sudah dibelah-belah kecil, ditancapkan di atas nasi (bakul)
2. Ammode baku’ (menghiasi bakul) Yang dihiasi bukan bakul, melainkan tempat di mana bakul itu akan dimuat dengan bermacam-macam warna dari dari berbagai hiasan berharga. Hiasan-hiasan ini menjadi ukuran tingkat kemampuan sosial pemiliknya. Karena itulah, sebagian orang biasanya menjual sesuatu untuk memperoleh biaya memperbesar kanre maudu (nasi Maulid).
Setelah itu, dimulailah prosesi di lapangan. Tahap-tahap pelaksanaan upacara di lapangan meliputi:
1. Angngantara’ kanre Maudu (mengantar persiapan Maulid) Lokasi maudu’ adalah di tepi Sungai Cikoang. Pada pagi hari tanggal 29 Rabiul Awal setiap tahun segala persiapan dan peralatan diantar ke sana oleh masing-masing pemiliknya dengan doa tersendiri.
2. Pannarimang kanre Maudu (penerimaan nasi Maulid) Penerimaan ini dilakukan oleh guru yang memimpin upacara itu, dengan membakar dupa dan duduk bersila menghadap kiblat sambil membaca doa agar persembahannya itu diterima dan menyenangkan Rasulullah SAW.
3. Rate’ (pembacaan syair pujian pada Rasulullah SAW dan keluarganya) A’rate’ (inti acara) artinya membaca kisah atau syair-syair pujian terhadap Rasulullah SAW dan keluarganya dengan lagu dan irama tersendiri yang amat khas dan menyentuh hati. Acara ini biasanya berlangsung sekitar dua jam. Kitab Rate’ ini merupakan karya besar Sayyid Jalaluddin Al`Aidid dan menjadi inti ajaran-ajarannya dalam tarekat “Nur Muhammad”. Setelah berakhirnya acara ini, maka selesailah inti acara maudu’.
4. Pattoanang (Istirahat) Yaitu jamuan undangan yang disediakan sesudah selesai upacara inti. Jamuan yang dihidangkan di-buat sendiri oleh penyelenggara acara tersebut dan para undangan/peserta dapat menikmati makanan dan minuman dengan ramah. Pelaksana acara mera-sa lega karena telah melaksanakan pengabdian yang sangat berat tapi mulia kepada Nabi Muham-mad saw.
5. Pambageang Kanre Maudu’ (Pembagian Nasi Maulud) Setelah semua acara berlangsung, maka para tamu yang akan bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing dibagikan makanan (kanre maudu’) sebagai berkah dari hadrat Nabi oleh penyelenggara, menurut tingkatan sosial di dalam masyarakat.
Upacara Maudu’ Lompoa mempunyai kesan dan pengaruh batin yang luar biasa. Ketika berlangsung acara, tidak seorang pun yang bubar meski di tengah sengatan terik matahari atau guyuran hujan, kecuali pengunjung dari luar. Mereka menganggap panas matahari atau hujan adalah rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, orang-orang yang lari berarti lari dari rahmat Allah. Di samping itu, anggota masyarakat setempat menjadikan tradisi itu sebagai tujuan dari aktifitas hidupnya. Para petani misalnya, selalu berharap agar hasil pertaniannya melimpah dan sebagiannya dapat digunakan untuk upacara maudu’. Para pedagang pun berusaha meraih keuntungan yang besar agar dapat disisihkan untuk melaksanakan upacara maudu’. Bahkan sebelum ke luar berdagang (terutama ke luar pulau berdagang) mereka bernazar terlebih dahulu bahwa bila dagangannya berhasil dan dapat pulang dengan selamat maka mereka akan melaksanakan maudu’ besar pada waktunya. Begitu pula kaum buruh selalu mengumpulkan penghasilan/gajinya untuk persiapan maudu’ Perahu Maudu Lompoa dari Pangkep Takalar, Tribun — Setiap tahunnya, akhir bulan Rabiul Awal, puluhan perahu kayu berisi telur maulid dan berhias kain serta sarung berjejer di sungai Cikoang, Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Takalar, sekitar 55 kilometer Kota Makassar. Peristiwa itu merupakan puncak peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan di Takalar dikenal dengan nama Maudu Lompoa (Maulid Besar). Perahu berhias telur itu menjadi ciri perayaan Maulid di Cikoang, Takalar. Perahu bernama Lambere Japing-japing (haddayong pitdareng) itu ternyata berasal dari Pangkep. Menurut salah seorang keturunan Sayyid Djalaluddin, Syamsuddin Karaeng Lolo, nama perahu yang digunakan dalam maulid itu berasal dari pengikut-pengikut Sayyid di Pangkep. “Kenapa dikatakan Lambere Japing-japing, karena itu dibawa pengikut Sayyid dari Japing-Japing, Kabupaten Pangkep. Itulah perahu berhias telur Maulid yang hingga saat ini digunakan,” kata Karaeng Lolo saat ditemui di rumahnya, Desa Cikoang, Sabtu (15/5). Menurut Karaeng Lolo, perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah berlangsung sejak tahun 1632 Masehi. Setiap keturunan Sayyid tiap tahunnya berusaha mengadakan perayaan yang kini menjadi agenda pariwisata Sulawesi Selatan itu. “Biar yang dipandang miskin tetap melakukan Maudu. Dia pasti berusaha melakukannya biarpun kecil dan tidak pernah dibantu. Seperti ada berkah tersendiri setiap menjelang Maudu Lompoa,” jelas Sayyid Lolo (karaeng lolo). Keluarga keturunan yang merantau berusaha kembali untuk menggelar acara kegiatan sebagai kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW ini. Kegiatan ini kerap menjadi pengobat rindu bagi warga Cikoang yang lama merantau dan kembali bergabung bersama keluarganya.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar