Maudu’ Lompoa
Cikoang, Takalar MAUDU’ Lompoa (maulid besar) adalah prosesi peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diisi dengan berbagai kegiatan ritual. Tradisi
ini ditujukan untuk menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya. Karenanya secara temurun tradisi ini dipelihara keluarga Sayyid
Al’-Aidid. Kehadiran tradisi Maudu’ Lompoa di Cikoang diawali dari kedatangan
Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid. Beliau adalah seorang ulama
besar asal Aceh, cucu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, keturunan Arab
Hadramaut, Arab Selatan, dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW yang ke-27.
Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid tiba di kerajaan Gowa-Makassar pada abad 17, masa
pemerintahan Sultan Alauddin. Beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan.
Putra Mahkota kerajaan Gowa oleh Sayyid Djalaluddin diberi nama Muhammad
al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Diberitakan
bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya
kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya.
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah
agama yang beliau bawa. Naskah tersebut merupakan karangan-karangan Nuruddin
ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang
naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang
dan telah disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan,
seperti dikutip Abd Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk dalam
Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982, merupakan gelombang lanjutan dari
proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar sesudah periode Dato’ ri
Bandang. Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Djalaluddin
Al’ Aidid mengajarkan tiga hal penting yang kemudian menjadi faktor utama
terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-ma’rifah, al-iman dan al-mahabbah.
Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap
Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian
dan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Cikoang mengenal dua proses
kelahiran beliau, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam
syahadah (dunia). Kejadian di alam ghaib berwujud “Nur Muhammad” yang
diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang daripada-Nyalah tercipta
alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang, khususnya para Sayyid, percaya bahwa
Allah menyinari dan memberi cahaya langit dan bumi (bertajalli) melalui “Nur
Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai pokok kejadian segala makhluk dan
rahmat bagi seluruh Alam. Sedangkan kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini
merupakan kelahiran dengan membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegangi.
Karenanya sebagai upaya untuk menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar
kelahiran Nabi, prosesi peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral.
Masyarakat Takalar, khususnya keturunan Sayyid, meyakini sepenuhnya kelahiran
Rasulullah SAW merupakan isyarat kemenangan. Dan kemenangan harus diwujudkan
dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa kepada hazrat suci Nabi
Pendaratan Sayyid Djalaluddin Di Cikoang Dikisahkan, Sayyid Djalaluddin menikah
dengan I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin, seorang putri
bangsawan kerajaan Gowa. Beliau tidak mendapatkan respon yang layak dari
Sombaya di Gowa, karena ketidakjelasan identitas keturunan Sayyid. Beliau pamit
pada Sombaya di Gowa dan kemudian menitipkan istrinya di Balla Lompoa, Gowa.
Atas izin Allah SWT, Sayyid meninggalkan Balla Lompoa dengan menggunakan
sehelai sajadah (tikar sembahyang) sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah
tempat air wudhu (cerek) menemaninya. Dalam waktu sekejab, Sayyid sudah sampai
di sebelah utara pulau Tanakeke, kemudian sebelah utara Sungai Bontolanra,
Parappa, Sanrobone, dan Sungai Maccinibaji. pada saat yang sama, di muara
sungai Cikoang, sebelah utara hulu sungai, I Bunrang (kesatria Cikoang)
memasang kuala (bila). Lalu, di sebelah selatan hulu sungai, I Danda (kesatria
Cikoang) juga memasang kuala. Esoknya, I Danda dan I Bunrang melihat sebuah
benda berbentuk kapal laut besar lewat do sebelah utara Tompo’tanah. Hanya
dalam waktu sekejap, benda tersebut berubah bentuk menjadi benda bercahaya.
Melihat itu, kedua kesatria Cikoang itu berlomba mendayung lepa-lepanya
(perahu) mendekati benda itu. Saat mendekat, keduanya tercengang melihat
seorang manusia memakai jubah, duduk bersila di atas sajadah ditemani cerek.
Melihat keajaiban pada orang itu, Sayyid Djalaluddin, I Danda dan I Bunrang
lalu menawarkan jasa pada Sayyid. Kedua perahu itu lalu dirapatkan. Sayyid
kemudian meletakkan kaki kanannya di atas perahu I Danda dan kaki kirinya di
perahu I Bunrang. Kedua satria itu kemudian mendayung perahunya ke pinggiran
sungai Cikoang. Mereka lalu mengabdi pada Sayyid. Selanjutnya, I Bunrang diutus
untuk menjemput istri Sayyid, I Acara’ Daeng Tammami, di Balla Lompoa, Gowa.
Dua bulan setelah Daeng Tamami berada di Cikoang, tepatnya saat tarikh 10
Syafar 1025 H, mulailah dilaksanakan mandi Syafar untuk pertama kalinya sebagai
rangkaian peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau dikenal sebagai Maudu’
Lompoa (maulid besar). Kegiatan itu dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal
1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi oleh Sayyid, I Danda, I Bunrang,
serta jamaah ajarannya. Peringatan itu berdasarkan tiga faktor keyakinan dan
keikhlasan. Ketiga faktor itu, yaitu, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW
kejadian di alam Nur, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW keadaan di alam
rahim, dan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW kelahiran di alam dunia.
Persiapan Maudu’ Lompoa Persiapan-persiapan upacara Maudu’ Lompoa di Cikoang
diawali dengan menyediakan ayam, beras, minyak kelapa, telur, julung-julung
(perahu), kandawari, bembengan, panggung upacara dan lapangan upacara. Sebulan
sebelum 12 Rabiul Awal, sekitar tanggal 10 Shafar, ayam-ayam itu telah
disiapkan di dalam kurungan yang dimaksudkan agar ayam-ayam itu tidak lagi
makan barang najis. Setiap orang sekurang-kurangnya satu ekor ayam yang sehat.
Setelah tiba masa peringatan, ayam-ayam itu disembelih oleh anrongguru (tokoh
dari keluarga Sayyid) yang memimpin prosesi upacara tersebut. Beras yang digunakan
harus diproses sendiri, yaitu ditumbuk pada lesung yang sudah dibersihkan.
Lesung itu harus dipagari dan tidak boleh rapat ke tanah. Orang yang menumbuk
itupun tidak boleh menaikkan kakinya di atas lesung. Sedang padi yang ditumbuk
harus dijaga baik-baik, tidak boleh sebiji pun jatuh ke tanah. Ampasnya harus
dikumpul baik-baik pada tempat yang tidak mudah kena kotoran sampai selesainya
dibaca Surat Rate’ (Kitab Maudu’) Kitab yang menceritakan kelahiran Nabi sampai
riwayat datangnya Islam yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin. Menurut Dg Bantang,
dalam setiap orang ukurannya harus 4 liter yang bermakna bahwa setiap manusia
terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari 4 asal, yaitu tanah,
air, angin dan api. Bakul yang digunakan terbuat dari daun lontar yang
berukuran minimal untuk 4 liter beras dan 1 ekor ayam untuk satu orang. Ukuran
bakul bertingkat-tingkat sesuai banyaknya jumlah keluarga atau pengikut. Karena
itu, siapa yang besar bakulnya biasanya itulah yang paling banyak keluarganya dan
ramai maulidnya diliahat dari pengaruhnya dan paling banyak ana’ gurunna
(muridnya). Minyak kelapa yang digunakan harus diproses sendiri dan dibuat
khusus hanya untuk acara tersebut, jadi tidak boleh digunakan selain untuk
kebutuhan acara itu. Kecuali bila upacaranya telah selesai. Sabuk dan
tempurungnya harus dikumpulkan pada tempat yang tidak ternoda atau dibakar atau
ditimbun di tanah agar tidak terkena najis. Telur yang digunakan direbus
terlebih dahulu lalu ditusuk pada ujung bambu yang sudah dipecah-belah kecil
dan runcing dan ditancapkan di atas bakul. Selain itu, dibuat julung-julung
(perahu) dari bambu atau kayu dengan dua buah tiang layar, penuh dengan kain
yang berwarna-warni sebagai layar dan bendera (perlambang datangnya ajaran
kebenaran dari Nabi yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin). Perahu itu bertiang
empat yang agak tinggi sehingga bentuknya mirip dengan panggung. Pada bagian
belakang perahu itu biasanya ditempeli uang kertas Rp 5.000,- atau Rp 10.000,-
Dalam satu keluarga yang mampu harus membuat satu perahu, sedang keluarga yang
kurang mampu biasanya berkelompok beberapa keluarga untuk satu perahu.
Sedangkan kandawari, burung merak dan bembengan dibuat berbentuk segi empat dan
bertiang empat kemudian ditempatkan di darat saja. Selain itu, dibuat juga
sebuah panggung kayu yang dipasangi tenda. Di atas panggung inilah dilaksanakan
inti acara Maudu’ Lompoa, yaitu zikkiri’ (berisi syair-syair pujaan kepada
Rasulullah saw).
Pelaksanaan Upacara Tahap Awal
1. Ammone baku’ (mengisi bakul)
Orang yang berhak mengisi bakul adalah perempuan yang suci dari hadas dan najis
(selalu berwudhu), sebagai berikut: – Mengisi bakul dengan nasi setengah masak
– Membungkus ayam dengan daun pisang lalu dimasukkan ke dasar bakul – Menutup
permukaan bakul dengan daun pisang atau daun kelapa muda – Telur-telur yang
sudah ditusuk dengan bambu yang sudah dibelah-belah kecil, ditancapkan di atas
nasi (bakul)
2. Ammode baku’ (menghiasi bakul)
Yang dihiasi bukan bakul, melainkan tempat di mana bakul itu akan dimuat dengan
bermacam-macam warna dari dari berbagai hiasan berharga. Hiasan-hiasan ini
menjadi ukuran tingkat kemampuan sosial pemiliknya. Karena itulah, sebagian
orang biasanya menjual sesuatu untuk memperoleh biaya memperbesar kanre maudu
(nasi Maulid).
Setelah itu, dimulailah prosesi di
lapangan. Tahap-tahap pelaksanaan upacara di lapangan meliputi:
1. Angngantara’ kanre Maudu
(mengantar persiapan Maulid) Lokasi maudu’ adalah di tepi Sungai Cikoang. Pada
pagi hari tanggal 29 Rabiul Awal setiap tahun segala persiapan dan peralatan
diantar ke sana oleh masing-masing pemiliknya dengan doa tersendiri.
2. Pannarimang kanre Maudu
(penerimaan nasi Maulid) Penerimaan ini dilakukan oleh guru yang memimpin
upacara itu, dengan membakar dupa dan duduk bersila menghadap kiblat sambil
membaca doa agar persembahannya itu diterima dan menyenangkan Rasulullah SAW.
3. Rate’ (pembacaan syair pujian
pada Rasulullah SAW dan keluarganya) A’rate’ (inti acara) artinya membaca kisah
atau syair-syair pujian terhadap Rasulullah SAW dan keluarganya dengan lagu dan
irama tersendiri yang amat khas dan menyentuh hati. Acara ini biasanya
berlangsung sekitar dua jam. Kitab Rate’ ini merupakan karya besar Sayyid
Jalaluddin Al`Aidid dan menjadi inti ajaran-ajarannya dalam tarekat “Nur
Muhammad”. Setelah berakhirnya acara ini, maka selesailah inti acara maudu’.
4. Pattoanang (Istirahat) Yaitu
jamuan undangan yang disediakan sesudah selesai upacara inti. Jamuan yang
dihidangkan di-buat sendiri oleh penyelenggara acara tersebut dan para
undangan/peserta dapat menikmati makanan dan minuman dengan ramah. Pelaksana
acara mera-sa lega karena telah melaksanakan pengabdian yang sangat berat tapi
mulia kepada Nabi Muham-mad saw.
5. Pambageang Kanre Maudu’
(Pembagian Nasi Maulud) Setelah semua acara berlangsung, maka para tamu yang
akan bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing dibagikan makanan (kanre
maudu’) sebagai berkah dari hadrat Nabi oleh penyelenggara, menurut tingkatan
sosial di dalam masyarakat.
Upacara Maudu’ Lompoa mempunyai
kesan dan pengaruh batin yang luar biasa. Ketika berlangsung acara, tidak
seorang pun yang bubar meski di tengah sengatan terik matahari atau guyuran
hujan, kecuali pengunjung dari luar. Mereka menganggap panas matahari atau
hujan adalah rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, orang-orang yang lari berarti
lari dari rahmat Allah. Di samping itu, anggota masyarakat setempat menjadikan
tradisi itu sebagai tujuan dari aktifitas hidupnya. Para petani misalnya,
selalu berharap agar hasil pertaniannya melimpah dan sebagiannya dapat
digunakan untuk upacara maudu’. Para pedagang pun berusaha meraih keuntungan
yang besar agar dapat disisihkan untuk melaksanakan upacara maudu’. Bahkan
sebelum ke luar berdagang (terutama ke luar pulau berdagang) mereka bernazar
terlebih dahulu bahwa bila dagangannya berhasil dan dapat pulang dengan selamat
maka mereka akan melaksanakan maudu’ besar pada waktunya. Begitu pula kaum
buruh selalu mengumpulkan penghasilan/gajinya untuk persiapan maudu’ Perahu
Maudu Lompoa dari Pangkep Takalar, Tribun — Setiap tahunnya, akhir bulan Rabiul
Awal, puluhan perahu kayu berisi telur maulid dan berhias kain serta sarung
berjejer di sungai Cikoang, Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Takalar,
sekitar 55 kilometer Kota Makassar. Peristiwa itu merupakan puncak peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW dan di Takalar dikenal dengan nama Maudu Lompoa
(Maulid Besar). Perahu berhias telur itu menjadi ciri perayaan Maulid di
Cikoang, Takalar. Perahu bernama Lambere Japing-japing (haddayong pitdareng)
itu ternyata berasal dari Pangkep. Menurut salah seorang keturunan Sayyid
Djalaluddin, Syamsuddin Karaeng Lolo, nama perahu yang digunakan dalam maulid
itu berasal dari pengikut-pengikut Sayyid di Pangkep. “Kenapa dikatakan Lambere
Japing-japing, karena itu dibawa pengikut Sayyid dari Japing-Japing, Kabupaten
Pangkep. Itulah perahu berhias telur Maulid yang hingga saat ini digunakan,”
kata Karaeng Lolo saat ditemui di rumahnya, Desa Cikoang, Sabtu (15/5). Menurut
Karaeng Lolo, perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah berlangsung sejak tahun
1632 Masehi. Setiap keturunan Sayyid tiap tahunnya berusaha mengadakan perayaan
yang kini menjadi agenda pariwisata Sulawesi Selatan itu. “Biar yang dipandang
miskin tetap melakukan Maudu. Dia pasti berusaha melakukannya biarpun kecil dan
tidak pernah dibantu. Seperti ada berkah tersendiri setiap menjelang Maudu
Lompoa,” jelas Sayyid Lolo (karaeng lolo). Keluarga keturunan yang merantau
berusaha kembali untuk menggelar acara kegiatan sebagai kecintaan terhadap Nabi
Muhammad SAW ini. Kegiatan ini kerap menjadi pengobat rindu bagi warga Cikoang
yang lama merantau dan kembali bergabung bersama keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar