Sabtu, 28 Januari 2017

kebudayaan islam sulawesi terutama gowa



KEBUDAYAAN ISLAM DI SULAWESI SELATAN


KEBUDAYAAN ISLAM DI SULAWESI SELATAN (BUGIS-MAKASSAR)



Islam pertama kali masuk ke Sulawesi Selatan  diperkirakan pada abad ke-17 diawali dengan kedatangan tiga mubalig dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang. Tiga mubalig ini berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1607.             




Menurut pakar sejarah Islam Sulsel Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.     




Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang;  Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.




Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).




Dia memaparkan, berdasarkan teori Islamisasi di Makassar yang digagas penulis Belanda J Noor Duyn, periode perkembangan Islam di daerah ini dibagi atas tiga, masing-masing kedatangan Islam, penerimaan Islam, dan yang ketiga adalah penyebaran Islam.           




"Namun teori yang kita gunakan dan diketahui secara umum adalah teori penerimaan Islam di Sulsel pada abad ke-17. Sementara teori tentang masuknya Islam di Sulsel sudah ada pada abad ke-16," jelas Pembantu Rektor I Universitas Negeri Islam (UIN) Alauddin Makassar ini.          




Dia menjelaskan, setiba di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa.  




Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.   




Ketiganya mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam, Sultan Muhammad Mahyuddin pada bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah Awalul Islam) yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Sultan Alauddin pada 22 September 1605. "Jadi sebenarnya dari Luwu dulu yang masuk Islam, namun yang lebih dikenal adalah Kerajaan Tallo dan Gowa, karena memang besar dan diumumkan kepada masyarakatnya," ungkap Ahmad Sewang.           




Selain itu, kata dia, Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. Beliau diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam).          




Dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan oleh HA Massiara Dg Rapi, disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.             




Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.     




Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.




Sementara, menurut salah seorang keturunan Datuk ri Bandang, Ince Muhammad Anas Hasan, kondisi kehidupan sosial, budaya, dan cara perniagaan pedagang Islam lambat laun terdengar oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Mapirisika Kallonna pada abad ke-15.          




Raja kemudian membandingkan kultur yang dipakai dan sosial budaya yang dibawa oleh orang- orang yang beragama Islam, yang memang sudah mempunyai ketentuan-ketentuan yang bermaktub dalam satu kitab yang mereka (pedagang Islam) patuhi. "Mulai saat itu, raja tertarik kepada tata tertib kemasyarakatan yang di bawah untuk dapat diterapkan dan dikerjakan," jelas Ince yang juga Ketua Yayasan Dato (Datuk) ri Bandang Sulsel.
Dengan berkembangnya Islam di wilayah Sulawesi Selatan, tentu hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar di berbagai bidang dalam kehidupan. Politik, ekonomi, sosial, dan juga sosial budaya. Pada kesempatan kali ini, akan dibahas mengenai pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan atau kesenian. 

Jika berkunjung ke Makassar pada saat-saat perayaan Maulid, di kiri-kanan jalan kita akan menemukan penjual-penjual hiasan telur yang telah menjadi tradisi perayaan maulid di sana. Jadi, di saat perayaan maulid, orang-orang akan datang ke masjid terdekat untuk merayakannya dengan membawa telur yang disimpan dalam sebuah tempat dengan tangkai di bawahnya. Tempat telur tersebut biasanya dihiasi menggunakan kertas warna-warni atau di cat agar tampak menarik. Selain itu, ada juga tradisi khatam qur’an, di mana diadakan upacara bagi anak-anak yang sudah khatam mengaji. Upacara tersebut sangat meriah dan hampir mirip dengan acara resepsi pernikahan,loh... . Lalu, bagi orang-orang Bugis-Makassar, perempuan pun harus di sunnat, dan ada juga acara perayaannya. 

Nah, itu adalah sekilas kebudayaan Islam yang terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Untuk lebih lengkapnya, yuk, simak penjelasan di bawah ini.... 

  • 1.       Tradisi Pembacaan Kitab Barazanji
pembacaan barzanji

Agama Islam masuk ke Sulawesi Selaan dengan cara yang sangat santun dan menghormati kebudayaan serta tradisi masyarakat Bugis Makassar. Buktinya dapat dilihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini.
Tradisi mabbarazanji salah satunya, yaitu tradisi pembacaan Barazanji,  sebuah kitab yang berisi sejarah Nabi Muhammad SAW. Kitab tersebut dibacakan setiap hajatan dan acara doa-doa selamatan. Bahkan, ketima membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini merupakan bukti terjadinya asimilasi damai antara budaya Bugis Makassar.
Sebelum kedatangan Islam di Sulawesi selatan, setiap diadakan acara atau ritual adat, seringkali diisi dengan pembacaan naskah I La Galigo dan Meongpalo Karellae. Para penyebar agama Islam tidak berusaha mematikan kreatifitas tradisional orang Bugis Makassar, namun mengislamkannya dengan jalan mengganti bacaan-bacaan tersebut dengan sejarah kehidupan Rasulullah SAW.
Islam mistik juga bergembang di wilayah Sulawesi Selatan. Konon, ketiga penyair Islam, Datuk Ditiro, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Bandang memang sengaja dikirim ke Sulawesi Selatan untuk menyiarkan Islam karena ketiganya adalah penganut Islam yang kuat di bidang sufistik (tasawuf). Hal ini dimaksudkan untuk mensinergikan pengetahuan mistik masyarakat Bugis Makassar yang mereka pelajari dari naskah I La Galigo dan lontara-lontara peninggalan nenek moyang mereka.
Oh iya, pembacaan barazanji juga diadakan pada setiap perayaan siklus kehidupan, seperti perayaan alahere (kelahiran anak), aqeqah (aqiqah), appasunna (khitan), appatamma (menamatkan pendidikan atau bacaan alquran), appabunting (perkawinan), menre bola (naik rumah), baik ri makkah (akan berangkat haji), ammateang (kematian), dan lain sebagainya.
Pemacaan barazanji juga suka dijadikan ladang untuk mencari rezeki bagi anak-anak bahkan orang dewasa yang mondok di pesantren atau yang memang mempelajari cara pembacaan barazanji dengan indah.

  • 2.       Tradisi Perayaan Maulid Nabi, “Ammaudhu

perayaan maulid Nabi Muhammad SAW
Dalam masyarakat Bugis Makassar perayaan-perayaan hari-hari besar Islam masih sangat kental dengan nuansa dan warna sinkretisme. Contohnya adalah perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang memiliki rentetan acara sebagai berikut :
-          Appakaramula
-          Ammone baku
-          Ammode baku
-          Angngantara kanre maudu
-          Pannarimang kanre maudu
-          A’rate (assikkir)
-          Pammacang salawa
-          Pattoanang
-          Pabbageang kanre maudu
Perayaan hari-hari besar Islam juga menghadirkan pembacaan zikir Barazanji. Selain maulid nabi, barazanji juga dibacakan acara-acara Islam yang diadakan dengan perayaan khusus, seperti Isra Mi’raj, sepuluh Muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat biasanya menyelenggarakan pembacaan barazanji dengan mengundang “ pabaca doank” (pembaca doa, biasanya imam kampung atau anrong guru) ke rumahnya untuk membacakan segala jenis rupa makanan dengan diiringi bau asap kemenyan.

  • 3.       Tradisi Berziarah
berziarah ke makam selapas salat ied

Tradisi berziarah biasanya dilaksanakan usai pelaksanaan acara penting dalam hidup seseorang. Seperti usai melaksanakan acara perkawinan maka kedua mempelai mengunjungi kuburan (berziarah) ke makam keluarga dan nenek moyangnya.
Namun, tradisi ini umumnya dilaksanakan masyarakat usai melaksanakan sholat Idul Fitri. Sehabis dari masjid aau lapangan, langsung menuju ke pemakaman umum untuk menziarahi kuburan keluarga. Di sana, mereka menabur bunga seraya memanjatkan doa keselamatan bagi keluarga yang telah mendahului serta keselamatan dan berkah bagi yang masih hidup.

  • 4.       Tradisi Memulai Mengaji dan Nipatamma

Tradisi ini berkenaan dengan permulaan mengaji bagi anak-anak di kampung yang “mengaji kampung”. Biasanya dipersyaratkan sebelum memulai mengaji di tuan guru atau pada “guru mengaji” untuk membawa pisang beberapa sisir ke rumah sang guru.
Berbeda dengan guru TK/TPA yang umum dikenal sekarang ini, sang guru mengaji kampung ini biasanya tidak digaji tapi cukup dibalas dengan keharusan bagi murid-muridnya untuk mengangkatkan air untuk kebutuhan sehari-hari sampai tempat air (baranneng) sang guru penuh. Dalam melakukan tugas ini, murid-murid sang guru saling bergantian satu sama lain untuk memenuhi barenneng tersebut.
Setelah anak-anak mengaji tersebut khatam juz ‘amma atau alquran 30 juz, mereka disyaratkan untuk “Nipatamma”, yaitu tradisi mengakhiri suatu kumpulan bacaan dengan hantaran makanan berupa pisang beberapa sisir, makanan sokko’ (beras ketan) yang di dalamnya terdapat ayam, telur, dan lain sebagainya yang dibaca dalam satu “kappara” (wadah makanan yang disajikan).

  • 5.       Tradisi Maleppe (Lebaran)

Tradisi ini dilaksanakan saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini dikenal secara umum dengan istilah “lebaran” atau “Maleppe”. Tradisi ini dilaksanakan seusai melaksanakan sholat ied. Masyarakat berbondong-bondong saling mengunjungi satu sama lain sesama kerabat handai taulan. Kegiatan saling mengunjungi ini disebut “assiara” (silaturahmi).
Biasanya, di rumah-rumah penduduk disajikan makanan khas lebaran, seperti burasa, mandura atau ketupat, serta sajian makanan ayam dan ikan bandeng. Pada masyarakat yang masih memegang kepercayaan lamaya, sajian makanan lebaran tersebut harus “dibaca” terlebih dahulu oleh puang anre guru atau daeng imam (pemuka agama atau imam)

  • 6.       Tradisi Perayaan 10 Muharram (Asyura)
bubur dengan telur dadar warna-warni

Tradisi ini ditandai dengan ramainya masyarakat Bugis Makassar di daerah-daerah pedalaman membuat bubur yang disebut “jepe syura”. Bubur tersebut dihiasi dengan berbagai macam potongan-potongan panjang telur dadar warna-warni, tumpi-tumpi kecil, udang, dan lain-lain.

  • 7.       Upacara Khitanan
upacara Makkatte'

Sunatan atau khitanan merupakan salah satu upacara yang senantiasa dilaksanakan sebagai pelengkap dalam daur hidup masyarakat Bugis Makassar. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun dan pada anak perempuan berusia 5 – 7 tahun.  Bagi laki-laki, sunatan disebut dengan massunna sedangkan bagi perempuan disebut dengan Makkatte’. Sedangkan kegiatannya sendiri disebut dengan appasunna.  Acara sunatan ini sering juga disebut dengan mappaselleng (pengislaman). Pada anak perempuan disertai dengan upacara ripabbajui (mappasang baju bodo), sebanyak lima atau tujuh lembar. Upacara ripabbajui ini merupakan upacara pertama kalinya seorang anak mengenakan baju bodo. Bagi mayarakat bugis yang memegang adat, anak perempuan yang belum pernah ripabbajui tidak diperbolehkan menggunakan baju bodo.

Upacara Appasunna (Khitanan Adat) di pangkep dikenal dua versi. Perbedaannya hanya waktu dan urutan kegiatan sebab satu dilaksanakan pada siang hari dan satunya dilaksanakan pada malam hari, sehingga boleh dikata tidak ada perbedaan sama sekali. Versi pertama dengan urutan kegiatan Menre Baruga, Mammata-mata, Allekke Je’ne,  Appassili, Nipasintinggi Bulaeng dan Nipasalingi, Appamatta dan  Khitanan (Nisunna).

Pada versi ini acara “mammata-mata” ditempatkan pada urutan kedua karena sesudah acara menre baruga sekaligus dilangsungkan acara mammata-mata. Pada acara  acara menre baruga, anak yang akan di sunat bersama orang tua dan keluarganya telah duduk di lamming (pelaminan) dalam baruga, dan pada acara ini pula ditampilkan acara kesenian meski pelaksanaannya dilakukan pada siang hari. Sedangkan versi kedua acara “mammata-mata” ditempatkan pada urutan keenam dan dilaksanakan pada malam hari dengan dirangkaikan malam ramah

Adapun prosesi sunatan antara lain, anak laki-laki yang akan disunat berpakaian pagadu, tidak memakai baju, hanya sarung putih dan songkok putih berada di atas bembengan dengan di antar oleh kedua orang tuanya dan seorang pinati. Sebelum memasuki baruga terlebih dahulu anak yang akan di sunat beserta ke-dua orangtuanya, keluarga, kerabat serta rombongan menre baruga. Yaitu mengelilingi terlebih dahulu baruga sebanyak tiga kali, setelah itu baru bisa memasuki baruga melalui sapana(tangga) yang diatasnya terdapat hamparan taluttu(kain putih) pertanda penghormatan.

Kemudian si anak dijemput dengan hamburan benno, bente(bertih) menuju lamming, di bawah lellu yang sisi tiangnya dipegang oleh empat anak berpakaian pagadu. Si anak harus selalu memegang patteko (alat tenun) mulai dari rumah kediaman menuju ke baruga. Acara dapat dilanjutkan dengan “mangngaru” di iringi “tunrung pakanjara”. Selesai itu di akhiri dengan akkaddo, jamuan kue-kue tradisional.

Selama acara menre baruga berlangsung diiringi dengan gendang adat (gandrang) yang kemudian dilanjutkan dengan acara allekka Je’ne atau mallekke wae, yaitu upacara pengambilan air pada sebuah sumur tertentu (sumur bertuah) untuk dimandikan pada anak yang di sunat. Kegiatan selanjutnya adalah appassili atau mappassili, yaitu upacara pensucian diri lahir dan batin. Dimaksudkan agar segala korban dan hal-hal yang di anggap tidak baik dapat dihilangkan. Selesai di passili, si anak hanya mengenakan sarung.
 


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar