Adat Istiadat Suku Bugis
Dalam
budaya suku bugis terdapat tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang
budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse dan simbolisme orang bugis
adalah sarung sutra.
1.
Konsep ade
Ade
yang dalam bahasa Indonesia adalah adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada
empat jenis adat yaitu :
- Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.
- Ade puraonro, yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun,
- Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
- Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat.
Menurut
Lontara Bugis, terdapat lima prinsip dasar dari ade yaitu ade, bicara, rapang,
wari, dan sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai pangngadereng. Ade merupakan
manifestasi sikap yang fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam
masyarakat. Rapang lebih merujuk pada model tingkah laku yang baik yang
hendaknya diikuti oleh masyarakat. Sedangkan wari adalah aturan mengenai
keturunan dan hirarki masyarakat sara yaitu aturan hukum Islam. Siri memberikan
prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang bugis.
Menurut
Pepatah orang bugis, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia.
Naia tau de’e sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau. Artinya Barang siapa yang tidak punya siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.
Namun saat ini adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi dikarenakan pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an
Naia tau de’e sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau. Artinya Barang siapa yang tidak punya siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.
Namun saat ini adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi dikarenakan pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an
2.
Konsep siri’
Makna
“siri” dalam masyarakat bugis sangat begitu berarti sehingga ada sebuah pepatah
bugis yang mengatakan “SIRI PARANRENG, NYAWA PA LAO”, yang artinya : “Apabila
harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayarannya”.Begitu tinggi makna dari
siri ini hingga dalam masyarakat bugis, kehilangan harga diri seseorang hanya
dapat dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak lawan bahkan yang
bersangkutan sekalipun.
Siri’
Na Pacce secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan
Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras,
Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut
merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas
dan empati).
Kata
Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce
(Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur
Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu :
- Siri’ Ripakasiri’, Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
- Siri’ Mappakasiri’siri’, Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
- Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
- Siri’ Mate Siri’, Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yangmate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Guna
melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu
tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan
Siri’ Na Pacce.
Kebudayaan Suku Bugis
1.
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
- Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
- Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
- Ripanddeppe’ mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan
tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang menikah
dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
2.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
- Anak dengan ibu atau ayah.
- Saudara sekandung.
- Menantu dan mertua.
- Paman atau bibi dengan kemenakannya.
- Kakek atau nenek dengan cucu.
3.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan adalah
- Mappuce-puce, yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengadakan peminangan.
- Massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
- Maduppa, yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Kesenian Suku Bugis
1.
Tari Paduppa Bosara
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedtangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedtangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
2.
Tari Pakarena
Tari Pakarena Merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, Nama Pakarena sendiri di ambil dari bahasa setempat, yaitu karena yang artinya main. Tarian ini pada awalnya hanya dipertunjukkan di istana kerajaan, namun dalam perkembangannya tari Pakarena lebih memasyarakat di kalangan rakyat.
Tari Pakarena Merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, Nama Pakarena sendiri di ambil dari bahasa setempat, yaitu karena yang artinya main. Tarian ini pada awalnya hanya dipertunjukkan di istana kerajaan, namun dalam perkembangannya tari Pakarena lebih memasyarakat di kalangan rakyat.
Tari
Pakarena memberikan kesan kelembutan. Hal tersebut mencerminkan watak perempuan
yang lembut, sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama pada suami.
Sepanjang Pertunjukan Tari Pakarena selalu diiringi dengan gerakan lembut para
penarinya sehingga menyulitkan bagi masyarakat awam untuk mengadakan babak pada
tarian tersebut.
3.
Tari Ma’badong
Tari Ma’badong hanya diadakan pada saat upacara kematian. Penari membuat lingkaran dengan mengaitkan jari-jari kelingking, Penarinya bisa pria atau bisa wanita. Mereka biasanya berpakaian serba hitam, namun terkadang memakai pakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk umum.
Tari Ma’badong hanya diadakan pada saat upacara kematian. Penari membuat lingkaran dengan mengaitkan jari-jari kelingking, Penarinya bisa pria atau bisa wanita. Mereka biasanya berpakaian serba hitam, namun terkadang memakai pakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk umum.
Tarian
yang hanya diadakan pada upacara kematian ini hanya dilakukan dengan gerakan
langkah yang silih berganti sambil melangtungkan lagu kadong badong. Lagu
tersebut syairnya berisikan riwayat manusia malai dari lahir hingga mati, agar
arwah si Mati diterima di negeri arwah atau alam baka. Tarian Badong bisanya
belansung berjam-jam, sering juga berlansung semalam suntuk.
Tarian
Ma’badong bisanya dibawakan hanya pada upacara pemakaman yang lamanya tiga hari
tiga malam khusus bagi kaum bangsawan di daerah Tana Toraja Sulawesi Selatan.
4.
Tarian Pa’gellu
Tari Pagellu merupakan salah satu tarian dari Tana Toraja yang di pentaskan pada acara pesta tambu Tuka, Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kegembiraan.
Tari Pagellu merupakan salah satu tarian dari Tana Toraja yang di pentaskan pada acara pesta tambu Tuka, Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kegembiraan.
5.
Tari Mabbissu
Tari Mabissu merupakan tarian bissu yang biasanya dipertunjukkan ketika upacara adat. Para penarinya bissu (orang yang kebal) yang selalu mempertontokan kesaktian mereka dalam bentuk tarian komunitas bissu bisa kita jumpai didaerah pangkep sigeri sulawesi selatan.
Tari Mabissu merupakan tarian bissu yang biasanya dipertunjukkan ketika upacara adat. Para penarinya bissu (orang yang kebal) yang selalu mempertontokan kesaktian mereka dalam bentuk tarian komunitas bissu bisa kita jumpai didaerah pangkep sigeri sulawesi selatan.
6.
Tari Kipas
Tari kipas Merupakan tarian yang memrtunjukan kemahiran para gadis dalam memainkan kipas dengan gemulai alunan lagu.
Tari kipas Merupakan tarian yang memrtunjukan kemahiran para gadis dalam memainkan kipas dengan gemulai alunan lagu.
7.
Gandrang Bulo
Gandrang Bulo merupakan sebuah pertunjukan musik dengan perpaduan tari dan tutur kata. Nama Gandrang bulo sendiri diambil dari perpaduan dua suku kata, yaitu gendang dan bulo, dan jika disatukan berarti gendang dari bambu. Ganrang Bulo merupakan pertunjukan kesenian yang mengungkapkan kritikan dan dikemas dalam bentuk lelucon atau banyolan.
Gandrang Bulo merupakan sebuah pertunjukan musik dengan perpaduan tari dan tutur kata. Nama Gandrang bulo sendiri diambil dari perpaduan dua suku kata, yaitu gendang dan bulo, dan jika disatukan berarti gendang dari bambu. Ganrang Bulo merupakan pertunjukan kesenian yang mengungkapkan kritikan dan dikemas dalam bentuk lelucon atau banyolan.
8.
Kecapi
Kecapi Merupakan sala satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan, khusunya suku Bugis. Baik itu Bugis Makassar ataupun Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut sehingga betuknya menyerupai perahu. Kecapi, biasanya ditampilkan sebagai musik pengiring pada acara penjemputan para tamu pada pesta perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
Kecapi Merupakan sala satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan, khusunya suku Bugis. Baik itu Bugis Makassar ataupun Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut sehingga betuknya menyerupai perahu. Kecapi, biasanya ditampilkan sebagai musik pengiring pada acara penjemputan para tamu pada pesta perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
9.
Gendang
Gendang merupakan sala satu alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar, yakni bulat panjang dan bundar mirip seperti rebana.
Gendang merupakan sala satu alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar, yakni bulat panjang dan bundar mirip seperti rebana.
10.
Suling
Suling bambu terdiri dari tiga jenis, yaitu:
Suling bambu terdiri dari tiga jenis, yaitu:
- Suling Panjang (Suling Lampe) yang memiliki lima lubang nada dan jenis suling ini telah punah.
- Suling calabai (siling ponco) suling jenis ini sering dipadukan dengan biola, kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
- Suling dupa Samping (musik bambu) musik bambu masih sangat terpelihara biasanya digunakan pada acara karnaval atau acara penjemputan tamu.
Rumah Adat Suku Bugis
Setiap
budaya memiliki Ciri Khas Rumah Adatnya Masing-masing. Begitu Pula Dengan
Bugis, rumah adat bugis itu terdiri dari tiga Bagian. Yang Dimana Kepercayaan
Tersebut terdiri atas :
1. Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2. Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3. Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) yang masih mempercayai bahwa
1. Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2. Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3. Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) yang masih mempercayai bahwa
Rumah
ini bisa berdiri tampa mengunakan satu paku pun orang daluhu kala mengantikan
Fungsi Paku Besi menjadi Paku Kayu.
Rumah
adat suku Bugis Makassar dapat di bedakan berdasarkan status sosial orang yang
menempatinya,
- Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan)
- bola adalah rumah yang di tempati oleh rakyat biasa.
Tipologi
kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya mempunyai jarak
tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi panjang.
Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan
tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa
di sebut timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai
dengan kedudukan penghuninya.
Rumah
adat suku bugis baik saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian :
Awa bola
ialah kolong yang terletak pada bagian bawah, yakni antara lantai dengan tanah.
Kolong ini biasa pada zaman dulu dipergunakan untuk menyimpan alat pertanian,
alat berburu, alat untuk menangkap ikan dan hewan-hewan peliharaan yang di
pergunakan dalam pertanian. Alle bola ialah badan rumah yang terdiri dari
lantai dan dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini
terdapat ruangan-ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti
menerima tamu, tidur, bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya.
Badan
rumah tediri dari beberapa bagian rumah seperti: · lotang risaliweng, Pada
bagian depan badan rumah di sebut yang berfungsi sebagai ruang menerima tamu,
ruang tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih, tempat membaringkan
mayat sebelum dibawa ke pemakaman. Lotang ritenggah atau Ruang tengah,
berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya
yang belum dewasa, hubungan social antara sesame anggota keluarga lebih banyak
berlangsung disini. ·
Lontang
rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak gadis atau
orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang dinamakan
dapureng atau jonghe. ·
Rakkeang
ialah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti
padi, jagung, kacang dan hasil perkebunan lainnya. Sebagaimana halnya
unsur-unsur kebudayaan lainnya maka teknologi arsitektur tradisionalpun
senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan.
Hal
ini juga mempengaruhi arsitektur tradisional suku bangsa bugis antara lain bola
ugi yang dulunya berbentuk rumah panggung sekarang banyak yang di ubah menjadi
rumah yang berlantai batu. Agama Islam juga memberi pengaruh kepada letak dari
bagian rumah sekarang yang lebih banyak berorientasi ke Kabah yang merupakan
qiblat umat Isalam di seluruh dunia. Hal tersebut di karenakan budaya Islam
telah membudaya di kalangan masyarakat bugis makassar, symbol-simbol yang
dulunya di pakai sebagai pengusir mahluk halus yang biasanya diambil dari dari
jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang tertentu dig anti dengan tulisan dari
ayat-ayat suci Al-Qur’an
Bahasa Suku Bugis
Etnik
Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Ugi)
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Seperti
halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan
karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar.
Karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Tiap-tiap
daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu,
yang bentuknya mirip gulungan pita kaset.
Cara
membacanya dari kiri kekanan.
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar.
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar.
Contoh
pemakaian bahasa Bugis: “Makan ma’ki (silakan Anda makan)”.
“Aga tapigau?”( apa yang sedang anda lakukan?). Adapun partikel-partikel yang biasa digunakan dalam bahasa bugis-Makassar seperti ji, mi, pi, mo, ma’, di’, tonji, tawwa, pale. Contoh penggunaannya misalnya : “tidak papa ji.” (tidak apa-apa).
“Aga tapigau?”( apa yang sedang anda lakukan?). Adapun partikel-partikel yang biasa digunakan dalam bahasa bugis-Makassar seperti ji, mi, pi, mo, ma’, di’, tonji, tawwa, pale. Contoh penggunaannya misalnya : “tidak papa ji.” (tidak apa-apa).
Pakaian Suku Bugis
Baju
Bodo adalah pakaian adat suku Bugis dan diperkirakan sebagai salah satu busana
tertua di dunia. Perkiraan itu didukung oleh sejarah kain Muslim yang menjadi
bahan dasar baju bodo. Jenis kain yang dikenal dengan sebutan kain Muslin
(Eropa), Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur), atau Ruhm (Arab)
pertama kali diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh. Hal ini merujuk pada
catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad ke-19. Sementara pada
tahun 1298, dalam buku yang berjudul “The Travel of Marco Polo”, Marco Polo
menggambarkan kalau kain Muslim dibuat di Mosul (Irak) dan diperdagangkan oleh
pedagang yang disebut Musolini.
Namun
kain yang ditenun dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun ini sudah
lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan, yakni pada pertengahan
abad ke-9, jauh sebelum masyarakat Eropa yang baru mengenalnya pada abad ke-17,
dan populer di Perancis pada abad ke-18. Kain Muslim memiliki rongga-rongga dan
jarak benang-benangnya yang renggang membuatnya terlihat transparan dan cocok
dipakai di daerah tropis dan daerah-daerah yang beriklim panas.
Sesuai
dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek.
Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara
dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang
menutupi bagian pinggang ke bawah badan. Namun seiring dengan masuknya pengaruh
Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami
perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman
berwarna sama, namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa
sarung sutera berwarna senada.